Studi Kitab Hadis

A. Biografi Imam Nawawi
Nama lengkap Imam Nawawi adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Semasa hidupnya Imam Nawawi belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits (pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar ke Iman Nawawi. Di antara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi dan lainnya.
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafara lahu.
Adapun karya-karya Imam Nawawi antara lain:
1. Raudhah ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga tahun (666-669 H)
2. Syarah Shahih Muslim yang ia beri nama al-Minhaj.
3. Syarah al-Muhadzdzab yang ia beri nama al-Majmu’.
4. Minhaj ath-Thalibin, ringkasan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i.
B. Metode
Metode yang digunakan Imam Nawawi dalam menyusun kitab syarah ini adalah dengan menggunakan metode muqaran yakni dalam mensyarahi hadist beliau berusaha untuk menjelaskan dengan gamblang berbagai permasalahan yang terkandung dalam sebuah redaksi hadis, dengan memaparkan beberapa versi dalil yang berkaitan erat dengan permasalahan tersebut, kecuali pada tempat-tempat yang memang tidak mungkin dipergunakan untuk membicarakan dalil-dalil tersebut secara panjang lebar. Namun, di luar itu semua beliau berusaha untuk mengemas penjelasan yang dimaksud dengan ungkapan yang lugas, padat, namun jelas. Dan juga membubuhkan keterangan tentang tata baca nama para perawi, cara baca beberapa lafadz dan kedudukannya dan kedudukannya dalam konteks tata bahasa Arab.
C. Sistematika Penulisan
Syarah Imam nawawi menyusun kitab ini dengan menggunakan penjelasan yang tidak terlalu ringkas dan juga tidak terlalu panjang. Kitab ini berisi tentang berbagai ilmu pengetahuan yang penting, baik itu berbentuk hukum, cabang-cabang hukum, etika, isyarat-isyarat yang penting dan pokok kaedah-kaedah syari’at. Selain itu beliau juga menjelaskan tantang penjelasan lafadz, nama periwayat, nama personal yang memiliki kunyah, nama orang tuanya, nama-nama yang masih samar statusnya dan kondisi para periwayat yang belum begitu jelas. kandungan hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf, dan cara mengkompromikan beberapa hadis yang redaksi luarnya terlihat bertentangan.
Kitab syarah imam muslim ini terdiri dari 9 jilid dengan 18 juz. Dalam mensyarah hadis Imam Nawawi langsung kepada syarah hadis serta membubuhkan beberapa dalil yang berkaitan dengan permasalahan dalam hadis tersebut.
Sistematika yang digunakan Imam Nawawi dalam menyusun kitab ini adalah berdasarkan bab yang terdapat dalam Shahih Muslim. Hanya saja terdapat muqaddimah Imam Nawawi sendiri.
D. Contoh

Amr bin Muhammad bin Bukair An Naqid menceritakan kepadaku, Hasyim bin Al Qasim Abu An Nadhr menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Al Mughirah menceritakan kepada kami, dari Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata, “Kami dilarang untuk bertanya tentang sesuatu keada rasulullah . Tentu Saja kami merasa sangat heran ketika ada seorang laki-laki dari penduduk dusun yang dating menjumpai Rasulullah-dia adalah seorang dusun yang cakap (tidak bodoh) dan mengajukan pertanyaan kepada Rasululah sedangkan kami semua mendengarkannya. Lelaki itu berkata, “Wahai Muhammad, telah dating kepada kami utusanmu. Dia mengatakan kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu.” Rasulullah bersabda,” Dia (orang utusanku) telah berkata benar.” Orang dusun itu kembali berkata, Siapakah yang telah menciptakan langit? Rasulullah menjawab, “Allah”. Lelaki dusun itu bertanya lagi, Siapakah yang menciptakan bumi? Rasulullah menjawab, Allah. Lelakiitu berkata, siapakah yang menancapkan gunung-gunung yang menulang tinggi ini dan telah menjadikan apa yang ada di dalamnya? Rasulullah bersabda, Allah.
Lelaki itu berkata, Demi Dzat Yang telah menciptakan langit, bumi, dan menjadikan gunung-gunung menjulang tinggi, apakah Allah yang telah mengutusmu? Rasulullah bersabda, Benar. Lelaki

Hadis ini menjelaskan bahwa kalimah kami dilarang untuk bertanya maksudnya adalah larangan bertanya sesuatu yang tidak penting dan dibutuhkan sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis lain, (bertanyalah kalian kepadaku) yakni tentang hal-hal yang kalian perlukan.
Laki-laki dari dusun maksudnya orang yang tidak sempat mendengar larangan Rasulullah tersebut. dikatakan cerdas, karena dia tahu bagaimana etika bertanya, prioritas yang akan ditanyakan dan cara bertanya dengan baik meskipun dia orang dusun.
Dia berkata: Wahai Muhammad. Menurut ulama, mungkin saja pada waktu itu belum ada larangan memanggil Rasulullah dengan nama beliau.
Dalam redaksi hadis di atas kata za’ama dan taz’umu dipergunakan bersama-sama dengan kalimat yang membenarkan misi kerasulan Rasulullah, maka dapat diketahui bahwa kata za’ama tidak khusus untuk ungkapan yang mengandung unsure kebohongan atau sesuatu yang masih meragukan. Kata ini juga dipergunakan untuk perkataan yang bersifat pasti dan tidak mengandung unsure keraguan. Banyak sekali hadis yang menggunakan kata za’ama bukan untuk sesuatu yang mengandung keraguan.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa nama laki-laki yang datang dari dusun itu adalah Dhimam bin Tsa’labah.
Menurut Imam Nawawi, pertanyaan yang disampaikan oleh lelaki dusun itu sangat sistematis dan penuh etika. Pertama –tama dia bertanya tentang siapa pencipta semua makhluk. Kemudian lelaki itu juga bersumpah bahwa Rasulullah adalah utusan Sang Pencipta. Bahkan setelah itu dia juga membenarkan ajaran yang beliau bawa. Tentu saja ungkapan sistematis seperti ini tidak akan mampu terlontar kecuali dari seorang yang memiliki pikiran tajam dan cerdas. Sedangkan menurut Qadhi Iyadh, lelaki dusun tersebut datang menjumpai Rasulullah untuk semakin memperkuat keyakinan agama yang telah dia terima dan juga untuk bertatap muka dengan Nabi secara langsung.
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa di antara pelajaran lain yang bisa diambil dalam hadis tersebut adalah shalat lima waktu terus berlaku dalam sehari semalam dan puasa bulan ramadhan yang wajib dikerjakan setiap setahun sekali. Syaikh Abu Amr bin Ash Shalah berkata, Hadits ini menjadi bukti bahwa pendapat yang selama ini diikuti para Imam adalah sesuatu yang benar. Pendapat yang dimaksud bahwa orang-orang awam yang hanya berstatus taqlid (mengikuti ajaran agama tanpa mengetahui dalilnya) tetap dianggap sebagai orang-orang mukmin. Keimanan mereka sudah dianggap cukup dengan hanya meyakini keberadaan Allah yang tanpa disertai keraguan. Berbeda dengan orang-orang yang tidak sepakat dengan pendapat ini , yakni kaum mu’tazilah. Padahal dalam hadis itu Rasulullah jelas-jelas telah membenarkan pengakuan status mukminnya Dhimam-sang lelaki dusun yang telah mengakui risalah yang disampaikan beliau, dimana dalam hal ini Dhimam masih seorang muslim yang taqlid. Dalam hadis ini juga terkandung pengertian bahwa hadis ahad bisa diamalkan.

Silaturrahim dalam Perspektif Hadis

BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan manusia tidak hanya bersifat fertikal kepada Sang Pencipta semata, tetapi juga bersifat horizontal kepada sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan sanggup hidup sendiri tanpa kehadiran dan bantuan orang lain. Dengan demikian perlu adanya hubungan baik dengan setiap orang agar keharmonisan dan keselarasannya terjaga. Salah satu caranya adalah dengan menyambung hubungan silaturrahim.
Silaturahim merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Mudahnya alat transportasi dan komunikasi saat ini seharusnya dapat menambah semangat kaum muslimin untuk bersilaturahmi karena silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia.
Apabila seseorang memutus hubungan silaturahmi, maka Allah meberikan ancaman bagi yang memutuskan silaturahmi tersebut. Memutuskan tali silaturahmi merupakan dosa besar dimana Allah memberikan ancaman kepada pelakunya dengan berbagai siksaan dan hukuman, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini telah jelas diterangkan dalam salah satu hadis nabi.
Dalam makalah ini, pemakalah menghadirkan sebuah hadits yang memberi informasi tentang kajian memutuskan tali silaturrahim. Bagaimana penjelasan-penjelasan dan kandungan hadits terkait dengan memutuskan tali silaturrahim. Apa informasi yang diberikan oleh hadits terkait dengan hubungan sosial. Dan pemakalah akan memaparkan secara singkat mengenai permasalah di atas.

BAB II
PEMBAHASAN
Teks Hadis
Diriwayatkan oleh Shahih Muslim dalam Kitab Shilah wal Adab nomor 4637:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
Artinya: telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Muhammad bin Asma’ Adh dhaba’i: telah menceritakan kepada kami juwairiyah dari Malik dari Az Zuhri bahwa Muhammad bin JUbair bin Muth’im: telah mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturrahmi.”telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ dan Abad bin Hu7maid dari Abdurrazak dari Ma’mar dari Az Zuhri melalui jalur ini dengan hadis yang serupa. dia berkata dengan lafadh: Aku mendengar Rasulullah Saw.
Tahqiq hadis
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Muslim dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu hadis telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Sehingga hadis ini dinilai shahih.
Takhrij Hadis
Sebagai sarana takhrij adalah CD software Kutub At Tis’ah
Adapun setelah dilakukan takhrij hadis, maka muncullah hadis-hadis yang setema sebagai berikut:
no المصدر اسم الكتاب No hadis
1 Bukhari Al Adab 5525
2 Tirmidzi Birrun wa shilah 1832
3 Abu Daud Az Zakat 1445
4 Ahmad Musnad Madaniyyina 16.132, 16.162, 16.171

Adapun kualitas hadis ini marfu’.
Mufrodat
قَاطِعُ : orang yang memutuskan hubungan silaturrahmi
رَحِمٍ : tempat peranakan
Syarah Hadis
Memutuskan tali silaturrahim atau qat’ur rahim adalah memutuskan, tidak menyambung atau memangkas hubungan kekeluargaan. qat’ur rahim adalah kata majmuk yang merupakan lawan dari kata silaturrahim.
Hukum memutus silaturrahim adalah haram, sebagaimana yang telah diterangkan secara sarih (jelas) dalam al Qur’an dan hadis Nabi yang telah disepakati berkualitas sahih. Atas dasar inilah imam ar Rafi’I memasukkan Qat’ur rahim ke dalam salah satu perbuatan dosa besar.
Sebagaimana riwayat Imam Muhammad al Baqir dari ayahnya, Ali Zainal ‘Abidin yang berkata, “janganlah kamu berteman dengan orang yang memutuskan hubungan silaturrahim, karena aku menemukan 3 ayat dalam al Qur’an yang mengutuk pelakunya. Ketiga surat tersebut adalah: 1) surah Muhammad [47]: 23; 2) surah ar Ra’d[13]: 25; 3) surah al Baqarah [2]:27.
Imam al Qurtubi berpendapat, telah menjadi kesepakatan umat bahwa hukum bersilaturrahim adalah wajib dan memutusnya adalah haram serta termasuk dosa besar.
Kontekstualisasi Hadis
ketidakpedulian terhadap hubungan kekerabatan akan dapat menimbulkan dampak negatif. Alasannya, tali silaturahmi lambat laun akan mengalami perenggangan. Pemutusan tali silaturahmi berdampak mengikis solidaritas, mengundang laknat, menghambat curahan rahmat dan menumbuhkan suburnya egoisme. Sering terdengar di masyarakat berbagai kasus putusnya tali silaturrahim. Ancaman Islam sangat tegas terhadap pemutusan silaturrahim ini.
Allah Ta’ala berfirman:
                  

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan Allah tulikan telinga mereka dan Allah butakan penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)
Anjuran untuk membina tali silaturahim sangat jelas dalam agama. Sebab dengannya tali ukhuwah bisa ditingkatkan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan umat Islam. Banyak sekali manfaat yang diperoleh dengan bersilaturrim.
Meski demikian, fenomena pemutusan tali silaturrahim kerap kali terdengar di tengah masyarakat, terutama akhir-akhir ini, saat materialisme mendominasi. Saling mengunjungi dan menasihati sudah dalam titik yang memprihatinkan. Hak keluarga yang satu ini sudah terabaikan, tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Padahal jarak sudah bukan lagi menjadi halangan di era kemajuan teknologi informasi.
alasan dilarang memutuskan hubungan silaturrahim adalah karena mengandung akibat-akibat sebagai berikut:
• Qat’ur rahim termasuk salah satu bentuk dosa besar. Sebab memutuskan hubungan silaturrahim dapat mengakibatkan retaknya hubungan kekeluargaan, menghapus kasih sayang dan mengundang laknat Allah swt.
• Memutus silaturrahim dapat mendatangkan laknat Allah dan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Allah swt. Berfirman:
                        
25. orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
• Orang-orang yang memutuskan tali silaturrahim termasuk golongan yang merugi, baik di dunia maupun di akhirat.
Firman Allah swt:
                     
27. (yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

• Memutuskan silaturrahim dapat menghalangi turunnya rahmat dan tidak disukai oleh para malaikat serta mendatangkan siksaan dengan segera.
• Orang yang memutuskan tali silaturrahim tidak akan diterima amal baiknya.

Disamping itu masih banyak lagi akibat-akibat buruk lain dari memutuskan hubungan siaturrahim, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Selain mempunyai akibat-akibat, putusnya silaturrahim juga mempunyai sebab-sebab. Sebab tersebut bisa dari diri kita sendiri atau orang lain. Tetapi yang jelas, siapapun yang memutuskan silaturrahim akan mendapatkan akibat buruk.
Secara sederhana, sebab sebab terputusnya silaturrahim antara lain adalah:
1. Tidak memahami keutamaan-keutamaan silaturrahim dan tidak mengetahui akibat buruk serta dosa yang ditimbulkan dari memutuskannya.
2. Sombong dan bakhil.
3. Sifat dan perilaku buruk seperti dengki, suka memfitnah, pemarah, buruk sangka dan sebagainya.
4. Terjadinya perceraian.
5. Jarak tempat tinggal yang saling berjauhan.
6. Terjadinya persengketaan.
7. Permasalahan harta warisan.
8. Terputusnya hubungan persaudaraan dalam waktu lama.
9. Berlebih-lebihan dalam bergurau atau terlalu pedas dalam mengkritik.
Dan masih banyak lagi sebab-sebab yang lainnya.

Dengan demikian kita harus mengetahui apa manfaat dari silaturrahim agar kita semangat untuk menjalankannya. Di antara manfaatnya adalah:
• Dipermudah rizqinya dan diperpanjang usianya
• Dapat mendekatkan kita ke surga dan menjauhkan dari neraqka
• Dapat menangkal musibah
• Dapat menaikkan derajat orang yang melakukannya
• Dapat membentangkan kemudahan bagi pelakunya dan menghindarkannya dari kesulitan hidup dan lain sebagainya.

Untuk menghindari terputusnya silaturrahim, maka silaturrahim bisa diwujudkan dengan berbagai cara dan melalui beragam media. Di antaranya adalah dengan cara bertamu, memberikan hadiah, memberi ucapan selamat, turut berbahagia bila ada saudara yang mendapatkan nikmat, dan turut berbela sungkawa bila ia tertimpa musibah, mengirim surat, mendoakan dan sebagainya.
Apalagi di era reformasi saat ini, kita bisa memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk menjalin silaturrahim, seperti telpon selular dengan berbagai fasilitas canggihnya, internet dengan fasilitas canggihya dan sebagainya. Tentu saja berbagai fasilitas tersebut sangat membantu kita dalam menjalin silaturrahim.

BAB III
KESIMPULAN
Silaturrahim adalah menyambung tali kasih saying. Gemar bersilaturrahim akan menumbulkan perasan akrab, saling mengerti dan saling memahami, sehingga terjalin hubungan komunikasi yang baik, dan bahkan sangat mungkin akan terjalin hubungan kerja sama. Karena itu, kita bisa menjadikan silaturrahim sebagai aset kebahagiaan dan kesuksesan hidup kita, baik di dunia maupun di akherat kelat.
Begitu pula sebaliknya. Jika seseorang memutuskan tali silaturrahim maka dia akan mendapatkan ancaman-ancaman dari Allah swt, baik di dunia maupun di akhirat. Karena hal ini merupakan suatu perbuatan tercela yang konsekuensi negatifnya sangat membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain. dengan sebab ini marilah kita menjaga keharmonisan hubungan kita terhadap keluarga maupun masyarakat lainnya tanpa memandang warna kulit, suku, ras maupun agama.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Digital
CD software Kutub At Tis’ah
Mahalli, Ahmad Mudjab, Menyingkap Rahasia Amal Shalih, Yogyakarta : AL MANAR, 2004
Masrur, M. Fatih , Miftahul Asror, Adab Silaturrahmi, Jakarta: CV Artha Rivera, 2008

Semiotika Al-Qur’an

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIKA AL-QUR’AN
Studi terhadap Kisah Yusuf dalam Surat Yusuf
Oleh: Ali Imron
A. Pendahuluan
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang diyakini sebagai kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Hal ini berarti tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat mengingat gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural dan terungkap melalui tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-pesan al-Qur’an yang tidak mengenal batas akhir.
Kisah-kisah Al-Qur’an merupakan sebuah struktur, yang merupakan unsur-unsur bersistem, dan antar sistem tersebut saling berhubungan timbal balik. Analisis struktur dalam hal ini adalah teori strukturalisme dalam kritik sastra bukan dalam konteks linguistik, yang beranggapan bahwa dalam karya sastra (kisah dalam Al-Qur’an) merupakan bangunan rumah yang terdiri berbagai elemen-elemen yang saling berhubungan.
Semiotika atau semiologi merupakan cabang keilmuan modern yang mengkaji sistem tanda yang terdapat pada bahasa. Teori ini sering digunakan mengkaji sistem tanda yang ada pada bahasa karya sastra. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Sistem tanda ini memiliki makna yang dapat diketahui dengan melihat hubungan antara penanda (signifier/signifiant) dan petanda (signified/signifie).
Pada perkembangan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an di masa modern, teori yang berasal dari Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce ini digunakan untuk memahami sekaligus menganalisis teks-teks Al-Qur’an. Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah tokoh pelopor yang mengcoba mengaplikasikan teori ini, meskipun terjadi pro-kontra. Terlepas dari persoalan polemik tersebut, penulis merasa perlu untuk mencoba menerapkan dua pendekatan tersebut untuk menganalisis kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf.

B. Analisis Struktural dan Semiotika Al-Qur’an
Analisis struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha, yang mendapat pengaruh langsung dari teori Ferdinand de Saussure. Sebagaimana strukturalisme yang dipahami oleh ahli linguis Saussurian bahwa bahasa memiliki struktur, karya sastra (kisah) juga memiliki struktur. Asumsi yang pertama dibangun teori ini menjelaskan bahwa kisah merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh berbagai unsur pembangun. Masing-masing unsur tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memiliki ketergantungan dengan unsur-unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan, sehingga membentuk kesatuan cerita yang utuh.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an juga merupakan kumpulan unsur yang membentuk sebuah cerita yang utuh. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak pernah berdiri, jika ada salah satu unsur yang hilang. Dalam analisis struktural, unsur-unsur yang dikaji antara lain; peristiwa, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an juga memiliki unsur-unsur tersebut, sebagaimana dalam cerita fiksi.
Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur kisah, yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kesatuan. Analisis tidak cukup hanya mendata unsur tertentu sebuah kisah, seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain, tapi yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antara unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk menganalisis struktur kisah cerita Yusuf dalam Q.S. Yusuf. Meskipun demikian, penulis hanya menganalisis kisah Yusuf hanya pada fragmen-fragmen (penggalan cerita) awal saja, yaitu ketika Yusuf bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud padanya, dan tragedi pembuangan Yusuf ke dalam sumur.
Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”. Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial. Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang substantif, tergantung di mana istilah itu populer. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan oleh de Saussure. Ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer daripada semiologi, sehingga para penganut madzhab Saussurian pun sering menggunakan istilah semiotika. Namun, pada dasarnya kedua hal itu merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antar signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa.
Tanda dalam semiotika terdiri dari dua macam, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai petanda, sedangkan petanda adalah suatu konsep atau arti yang ada di balik tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat persamaan bentuk, misalnya potret menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiyah antara penanda dan petanda yang bersifat sebab-akibat, misal asap penanda yang menandai adanya api (petanda). Simbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiyah antara penanda dan petanda, tapi hubungan tersebut bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi, misalnya hubungan kata ”ibu” sebagai penanda dengan konsep ”orang yang melahirkan” sebagai petanda bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi masyarakat. Dalam konteks Al-Qur’an, sesuatu yang bisa disebut sebagai penanda adalah bahasa Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan petandanya adalah konsep atau makna (meaning) yang berada di balik bahasa itu.
Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem tanda tingkat pertama. Begitu pula dengan bahasa sebagai medium kisah-kisah Al-Qur’an juga dianggap sebagai sistem tanda tingkat pertama. Dalam semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama disebut meaning (arti). Kisah-kisah Al-Qur’an merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi, yaitu konvensi yang adalah Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, setelah sistem tanda yang ada pada bahasa kisah-kisah Al-Qur’an masih ada sistem tanda yang di atasnya, yang bisa disebut dengan sistem semiotik tingkat kedua. Dalam hal ini berarti meaning yang ada pada bahasa kisah-kisah Al-Qur’an masih memiliki meaning lain di atas meaning yang pertama, sebab semiotika dalam pengertian yang lebih luas beranggapan bahwa fenomena dunia yang berada di luar bahasa merupakan sistem tanda yang lebih besar. Menurut penulis, dalam konteks kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf sistem tanda tersebut bisa berupa hubungan timbal balik antar unsur yang membentuk kisah maupun konteks historisnya. Berangkat dari alasan inilah penulis merasa perlu mengkombinasikan pendekatan struktural dengan semiotik untuk mengungkap meaning di balik kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf.
Analisis semiotika terhadap kisah-kisah al-Qur’an harus dibedakan dengan teks-teks sastra pada umumnya, karena al-Qur’an memiliki kekhasan tersendiri. Meskipun demikian, ada catatan penting yang perlu diketahui karena bahasa al-Qur’an memiliki ’kekhasan’ sendiri. Bahasa al-Qur’an merupakan bahasa agama yang memiliki banyak istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan metafisik, misalnya kata s|awa>b yang berarti pahala merupakan tanda dari sesuatu abstrak yang jauh dari pengetahuan fisik. Ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an yang sejenis dengan itu banyak ditemukan dan tidak memiliki acuan (referen). Barangkali inilah sesuatu yang ’khas’ menurut penulis. Selain itu, bahasa al-Qur’an bukan bahasa yang lahir dengan sendirinya, tapi juga berhubungan dengan kultur Arab saat ayat-ayat turun, sehingga bahasa al-Qur’an juga tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa al-Qur’an memiliki signifikasi yang lebih kompleks dari pada bahasa-bahasa lain.
Sebagaimana kisah-kisah naratif dalam karya sastra, kisah-kisah sebagai bagian dari al-Qur’an merupakan sebuah struktur, yang merupakan unsur-unsur bersistem, dan antar sistem tersebut saling berhubungan timbal balik. Hal ini menunjukkan bahwa struktur kisah merupakan penanda tersendiri. Kisah-kisah dalam al-Qur’an menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, baik tentang perjalanan para nabi dan rasul, umat-umat, cerita tentang penciptaan alam maupun yang lain. Kehadiran kisah-kisah tersebut memiliki faedah tersendiri, salah satunya adalah untuk menarik perhatian orang-orang atau masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Kisah-kisah itu sendiri memiliki pesan-pesan supaya dipahami oleh seorang qari’ yang membacanya. Dalam karya sastra, pesan-pesan tematik tersebut dapat diketahui melalui pola hubungan antar unsur yang terjalin. Oleh karena itu, untuk mengetahui konsep di balik kode dalam struktur kisah, persoalan hubungan unsur yang terjalin tidak bisa ditinggalkan.
Kisah Nabi Yusuf a.s. dalam Q.S. Yusuf menurut hemat penulis merupakan kisah yang menarik untuk dikaji dengan pendekatan semiotika. Kisah Nabi Yusuf a.s. dalam surat ini disajikan secara utuh mulai dari awal sampai akhir secara kronologis, tidak seperti kisah-kisah lain. Menurut penulis, kisah ini memiliki simbol-simbol kebahasaan yang menarik untuk dikaji dan memiliki banyak nilai-nilai filosofis yang menarik untuk diungkap. Salah satu contohnya adalah frase la> ta’manna>. Menurut tajwid frase tersebut harus dibaca isyma>m, yaitu dengan cara mencampurkan fath}ah dengan dhommah di dalam membaca gunnah nu>n tasydi>d. Cara membaca tersebut memberikan akibat dengan membuat gerakan moncong pada mulut lalu ditarik lagi dengan menempelkan gigi atas dan bawah sambil membentuk gerakan mulut seperti orang tersenyum.

C. Pembacaan Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf
Pembacaan terhadap kisah Yusuf ini akan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pembacaan struktural, pembacaan heuristik, dan pembacaan retroaktif. Pembacaan struktural dilakukan dengan cara menganalisis setiap unsur yang membentuk sebuah cerita, lalu dianalisis hubungan masing-masing unsur tersebut. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau pembacaan semiotik tingkat pertama. Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang berdasarkan konvensi yang ada di dalam Q.S. Yusuf itu sendiri dengan memperhatikan struktur yang ada, baik struktur bahasa, cerita, dan totalitas struktur yang ada di luar cerita.
1. Pembacaan Struktural
Penulis menyadari tidak mungkin melakukan pembacaan secara keseluruhan cerita Nabi Yusuf yang ada dalam Q.S. Yusuf, maka pembacaan pun dibatasi mulai cerita mimpi Yusuf tentang sebelas bintang, matahari dan bulan yang bersujud padanya sampai kisah tragedi Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya, yaitu mulai ayat 3 sampai ayat 18. Secara kronologi kisah tersebut berawal dari Yusuf menceritakan perihal mimpinya tadi kepada ayahnya. Kemudian Ayah Yusuf melarangnya untuk menceritakan mimpi tersebut kepada saudaranya, karena khawatir saudara-saudaranya akan mencederainya. Cerita ini dilanjutkan dengan cerita saudara-saudara Yusuf yang merasa iri dengan perlakuan istimewa Ayah Yusuf terhadap dirinya dan saudaranya. Saudara-saudaranya pun berencana menyingkirkan Yusuf dari keluarganya. Ada yang mengusulkan agar Yusuf dibunuh, tapi adanya juga yang mengusulkan cukup dibuang ke dalam sumur saja.
Saudara-saudara Yusuf memohon izin kepada Ayahnya agar diberi izin untuk mengajak Yusuf berjalan-jalan. Pada mulanya Ayah Yusuf tidak percaya, tapi akhirnya percaya dan Yusuf kecil pun bisa dibawa. Kemudian Yusuf dijeburkan ke dalam sumur, dan Saudara-saudaranya kembali ke ayahnya dengan pura-pura menangis dan membawa baju Yusuf yang dilumuri dengan darah binatang, lalu mereka bilang Yusuf telah mati dimakan serigala.
Melihat penggalan cerita tersebut, bisa diketahui bahwa tema pokok yang diangkat adalah iri dan kedengkian saudara-saudara Yusuf. Plot yang ada pada penggalan cerita ini dibuat lurus, sehingga runtutan secara kronologi bisa dinikmati oleh pembaca. Paling tidak ada tiga tokoh sentral dalam cerita ini, yaitu Yusuf kecil, ayahnya, dan saudara-saudara. Ketiga tokoh ini saling berhubungan, sehingga membentuk cerita yang utuh. Tema iri dan kedengkian ini tidak akan pernah terungkap jika salah satu tokoh yang ada dihilangkan. Sebenarnya ada tokoh lain yang disebut dalam cerita ini, yaitu Bunyamin saudara kandung, tapi keberadaannya tidak terlalu penting, karena tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam cerita. Keberadaan sumur tempat dibuangnya Yusuf menjadi bukti kelicikan saudara-saudaranya. Tanpa keberadaan sumur itu, cerita kelicikan saudara-saudara Yusuf menjadi tidak berarti. Melihat beberapa peristiwa tersebut, paling tidak tiga karakter penokohan dalam cerita, tokoh yang licik, iri-dengki (saudara-saudara Yusuf), tokoh lugu (Yusuf Kecil), tokoh yang selalu dilanda rasa was-was (Ayah Yusuf). Semua unsur-unsur tersebut, meliputi tokoh dengan karakter masing-masing, sumur, alur cerita, rentetan peristiwa dan lainnya saling berhubungan membentuk kesatuan struktur yang menghasilkan tema iri dan kedengkian saudara-saudara Yusuf terhadapnya.
2. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, cerita dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-kata yang ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku. Sebenarnya ini usaha yang mudah, karena cerita dituangkan dalam bentuk narasi bukan puisi.
Fragmen I
Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud (tunduk dan hormat) kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Fragmen II
(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai (mendapat perlakuan istimewa) oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat karena merasa lebih tua). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata (menurut persepsi mereka). Bunuhlah Yusuf atau buanglah Dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik (dengan cara bertaubat). Seorang diantara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah Dia ke dasar sumur supaya Dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.”
Fragmen III
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya (berusaha meyakinkan). Biarkanlah Dia pergi bersama Kami besok pagi, agar Dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya Kami pasti menjaganya.” (Karena Khawatir) Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala (serigala nyata), sedang kamu lengah dari padanya.”
Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang Kami golongan (yang kuat), Sesungguhnya Kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi (berpura-pura merasa rugi).”
Fragmen IV
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil (pura-pura) menangis. (Untuk meyakinkan) Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, Sesungguhnya Kami pergi berlomba-lomba dan Kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang Kami, lalu Dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
3. Pembacaan Retroaktif
Pembacaan retroaktif ini dilakukan berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Hal ini berarti pembacaan kisah Yusuf ini dilakukan berdasarkan konvensi-konvensi yang ada dalam Q.S. Yusuf. Dengan meminjam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid, konvensi ini meliputi konvensi linguistik maupun non linguistik. Konvensi linguistik berupa konvensi yang berasal dari struktur kebahasaan, sedangkan konvensi linguistik berupa struktur yang berada di luar struktur kebahasaan itu sendiri, seperti struktur kisah itu sendiri, riwayat-riwayat, asbab al-nuzul, pembaca dan lainnya yang merupakan bangunan sistem lebih luas.
Fragmen I
Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud (tunduk dan hormat) kepadaku.”
              
Mimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan memunculkan pertanyaan, benarkah mimpi tersebut hanya sebatas melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tersebut. Pada semiotik tingkat pertama mungkin makna yang diperoleh hanya sebatas itu, tapi untuk tingkat semiotik tingkat kedua tampaknya memiliki makna yang lain. Keberadaan bilangan sebelas pada ayat tersebut merupakan penanda sebagai simbol tentang jumlah sebelas saudara Yusuf yang iri kepadanya dan saudara kandungnya Bunyamin.
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu.
          
Larangan Ayah Yusuf untuk menceritakan mimpi tersebut merupakan bentuk kekhawatirannya, karena dari ayat ini Ayah Yusuf sebenarnya sudah memiliki prediksi bahwa akan terjadi tipu daya buruk terhadap Yusuf sendiri. Hal ini benar-benar terbukti pada cerita pada fragmen II berikutnya.
Fragmen II
”(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat karena merasa lebih tua).” Kata ah}abbu ila> abi>na> minna> merupakan penanda bahwa terjadi ke’iri’an dan kedengkian saudara-saudara Yusuf terhadap dirinya. Hal ini menunjukkan adanya perlakuan istimewa terhadap Yusuf dan Bunyamin sehingga menimbulkan rasa iri dan dengki, yang akhirnya kesebelas saudara Yusuf tersebut berencana untuk membunuh Yusus. Ketidakadilan Ayah Yusuf dalam memberikan kasih sayang digambarkan dengan ayat, ”Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata”.
Fragmen III
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya (berusaha meyakinkan). Biarkanlah Dia pergi bersama Kami besok pagi, agar Dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya Kami pasti menjaganya.”
     •     
Penggalan ayat ini menunjukkan adanya usaha para saudara Yusuf untuk memulai skenario mereka, maka Ayah Yusuf tidak mempercayai permintaan izin tersebut. Ada satu frase yang menarik untuk diteliti pada ayat ini, yaitu frase la> ta’manna> . Menurut tajwid frase tersebut harus dibaca isymam, yaitu dengan cara mencampurkan fathah dengan dhommah di dalam membaca ghunnah nun tasydid. Cara membaca tersebut memberikan akibat dengan membuat gerakan moncong pada mulut lalu ditarik lagi dengan menempelkan gigi atas dan bawah sambil membentuk gerakan mulut seperti orang tersenyum. Melihat kasus tersebut, frase la> ta’manna yang berasal dari la> ta’manu>na merupakan penanda yang menunjukkan ada unsur kebohongan ucapan saudara-saudara Yusuf. Hal inilah yang menyebabkan Ya’qub tidak percaya dengan mereka yang diekpresikan dengan ayat, Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala (serigala nyata), sedang kamu lengah dari padanya.” Kata al-zi’bu (serigala) sebenarnya tidak hanya terbatas pada arti serigala nyata sebagai hewan buas pemakan daging, tetapi merupakan sebuah penanda bahwa kebuasan saudara-saudara Yusuf tersebut digambarkan dengan bahasa metafora al-zi’bu.
Fragmen IV
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil (pura-pura) menangis. (Untuk meyakinkan) Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, Sesungguhnya Kami pergi berlomba-lomba dan Kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang Kami, lalu Dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
Fragmen IV ini merupakan jawaban dari kekhawatiran Ya’qub bahwa mimpi Yusuf benar-benar terjadi. Kebohongan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf yang sudah terdapat indikator pada fragmen sebelumnya juga terbukti pada fragmen ini.

D. Kesimpulan
Kisah merupakan sebuah struktur yang terjalin setelah terjadi hubungan timbal balik antar unsur-unsur. Kesatuan unsur-unsur tersebut secara struktural memiliki makna, sehingga fragmen-fragmen tersebut membawa tema tentang skenario kelicikan saudara-saudara Yusuf yang berangkat dari iri dan kedengkian mereka terhadapnya.
Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf ini dianalisis melalui tiga tahap, yaitu pembacaan struktural, pembacaan heuristik, dan pembacaan retroaktif. Pembacaan struktural dan heuristik menghasilkan pemahaman hanya sebatas makna semiotik tingkat pertama. Dalam hal ini, meaning yang diperoleh hanya terbatas pada permukaan struktur cerita dan bahasa, misal makna sebelas bintang, matahari, dan bulan masih masih dimaknai sebelas bintang, matahari, dan bulan sebagaimana dalam kehidupan nyata. Pembacaan retroaktif menghasilkan makna semiotik tingkat kedua, seperti serigala diartikan sebagai saudara-saudara Yusuf yang buas seperti serigala, dan jumlah bilangan sebelas dalam mimpi Yusuf diartikan sebagai jumlah bilangan saudara-saudara Yusuf yang melakukan tipu muslihat sebanyak sebelas orang.

DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, UGM Press, Yogyakarta, 2002.

Jabrohim, et.al., Metodologi Penelitian Sastra, Hanindita, Yogyakarta, 2002.

Pradopo, Rahmat Djoko, Pengkajian Puisi, UGM Press, Yogyakarta, 2007.

Al-Mah}alli>, Jala>l al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad, dan Jala>l al-Di>n ‘Abd’ al-Rah>ma>n ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m li al-Ima>m al-Jalailain, Al-Alawiyah, Semarang, t.th..

Al-Nuh}a>s, Abi> Ja’far Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ismail ibn, I’rab al-Qur’a>n, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2004.

Birri, Maftuh bin Basthul, Standar Tajwid, Kediri: Madrasah Murottil Qur’an PP Lirboyo, 2000.

Bathes, Roland, Petualangan Semiologi, penj. Stephanus Aswar Herwinarko, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Konsep Ilmu dalam Bukhari Muslim

KONSEP ILMU
DALAM SAHIH BUKHARI DAN MUSLIM
Oleh : Ali Imron
A. Pendahuluan
Sejarah umat manusia sangat menaruh perhatian terhadap ilmu sebagai sesuatu yang sangat penting. Berangkat dengan ilmu itulah, manusia dapat mengetahui banyak hal. Sejarah juga mencatat banyak suku bangsa di dunia mampu mencapai kejayaan dan peradaban tanpa terlepas dari ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu merupakan bagian sangat penting bagi kehidupan manusia.
Dalam konteks Islam, ilmu merupakan sesuatu yang menduduki posisi mulia. Bahkan Al-Qur’an sendiri dengan falsafah iqra-nya mengajarkan manusia untuk selalu dan terus membaca, mempelajari dan memahami apapun yang dihadapi. Selain itu Al-Qur’an sendiri juga memberikan jaminan akan mengangkat derajat manusia yang berilmu. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep ilmu sendiri? Berbicara mengenai konsep ilmu, Islam sendiri memiliki konsep sendiri tentang ilmu yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun demikian, makalah ini akan membatasi diri mencari konsep ilmu terbatas pada apa yang ada pada s}ah}i><h} Bukha<ri< dan Muslim, tapi tetap akan mencoba mengkaitkan dengan konsep ilmu yang selama ini berkembang. -baca selengkapnya->

Khusr dalam Al-Qur’an

PENDAHULUAN

Allah menurunkan kitab-Nya Al Qur’an untuk pedoman dan undang-undang bagi kaum muslimin dalam mengarungi liku-liku hidupnya. Dengan pantulan sinarnya hati mereka akan menjadi terang dan petunjuknya mereka akan mendapatkan jalan yang lempang. Dari ajaran-ajarannya yang lurus serta undang-undangnya yang bijaksana mereka dapat memetik suatu hal yang membuat mereka dalam puncak kebahagiaan.

Secara mudah dan jelas bahwa melaksanakan ajaran-ajaran ini tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al Qur’an terlebih dahulu serta berpedoman atas nasehat dan petunjuk yang tercakup di dalamnya. Yang demikian tidak akan tercapai tanpa penjelasan dan perincian yang dikehendaki oleh ayat-ayat Al Qur’an.[1]

Salah satun cara untuk memahami dan menghayati Al Qur’an adalah kita mempelajari ilmu ma’ani Al-Qur’an. Dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk lebih memfokuskan bahasan hanya pada kajian lafadz tertentu dalam Al-Qur’an. Yaitu lafadz Khusr yang merupakan lafadz yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an di tempat dan dalam konteks yang berbeda-beda. Lima lafadz tersebut banyak muncul dalam bentuk (sighat) yang berbeda. Adakalanya muncul dalam bentuk mashdar, fiil madhi, fiil mudhari, isim fail, dan lain sebagainya. Maka dari itu, dalam makalah yang singkat ini penulis ingin mencoba membahas dan mengupas lafadz tersebut secara mendalam, semoga dari pembahasan ini Allah SWT memberikan pemahaman kepada kita, sehingga kita dapat mengambil inti sari  dalam mempelajari ilmu ma’anil Quran ini, yang sudah tentu pasti dapat memberikan manfa’at kepada kita semua. -baca selengkapnya->

Hermeneutika Al-Qur’an Abdullah Saeed

BAB 1

PENDAHULUAN

Al Qur’an merupakan topik yang selalu up date untuk didiskusikan. Ketika al Qur’an lahir di Makkah 1431 tahun yang lalu, ia disambut dengan berbagai perdebatan akan otentitasnya. Buah dari diskusi panjang ini adalah Al Qur’an semakin kokoh dan terbukti otentisitas dan fleksibilitasnya terhadap percepatan zaman dan teknologi. Kekuatan survivenya dalam menghadapi berbagai batu penghalang membuktikan bahwa ia Shalih likulli zaman wa makan.[1]

Kajian terhadap al Qur’an yang mengenai penafsiran al-Qur’an dari segi metodologinya telah banyak dilakukan untuk menggali kembali pemahaman serta kemungkinan makna-makana yang terkandung di dalamnya. Usaha-usaha untuk memahami segi kebenaran al-Qur’an  dalam sejarahnya telah sejak lama mengalami proses pergumulan intelektual yang cukup serius, walaupun bisa diambil pemahaman bahwa pergulatan tersebut muncul hanya sampai pada bagian persepsi atau pada sisi metodologis dan hasil pemahamannya, bukan pada meragukan akan kebenaran al Qur’an.

Abdullah Saeed merupakan salah satu pemikir yang menteorikan tentang sisi metodologis studi al Qur’an dalam beberapa cetusan idenya. Kontektualisasi pemahaman penafsiran dan pengaplikasiannya merupakan sasaran tujuan ide dari Abdullah Saeed. Namun masih sedikit tulisan yang menguraikan ide-ide yang dijadikan landasan dalam pemikirannya. Oleh karena itu, penulis akan memberikan sedikit uraian terhadap pemikiran  Abdullah Saeed dalam  langkah hermeneutika-kontektualisasi penafsiran al-Qur’an. bacaselengkapnya